Kerana manusia itu tidak melihat terhadap sesuatu yang tidak dapat dicerna oleh mereka maka mereka ketakutan. Malah ketakutan utama adalah kejahilan terhadap sesuatu.
Begitu juga dalam hal agama ini, banyak manusia yang diserang ketakutan dalam beragama. Maka terjadilah sebahagian ahli religus kita yang ketakutan sehingga membikin paham yang tak keruan, seperti tanggapan lelaki dalam rumahnya yang menyangka ada jembalang di atas almari tadi.
Maka sebahagian dari mereka menetapkan bahawa barang-siapa yang melakukan dosa besar maka dia telah keluar dari Islam malah berada kekal dalam neraka. Tujuannya apa? Untuk menjaga manusia yang mengucap syahadah dari berbuat maksiat dan kejahatan - agar seorang Muslim itu senantiasa berbuat kebajikan dan mendapat kemulyaan.
Justeru manusia yang terhinggap "ketakutan" jenis ini pun terus menerus berada dalam kewaspadan; tak boleh tersilap sedikit pun kerna nanti mereka menjadi murtad. Malah lebih malang lagi kekal dalam neraka. Oleh itu mereka hidup dalam keadan sulit dan akhirnya agama menyulitkan mereka lagi. Barang siapa yang memberatkan agama, maka agama akan memberatkan dia.
Kemudiannya ada lagi sekelompok orang yang mengatakan bahawa mereka yang melakukan kejahatan ini tidak dihumban dalam neraka, dan juga tidak dimasukkan dalam syurga. Mereka duduk bersantai ditengah2 antara kedua tempat ini. Ini satu lagi logika yang tak terjangkau oleh logik agama.
Padahal yang benar bukan begitu; manusia yang berbuat silap pasti dia diadili oleh manusia secara fizikal; dengan hukum yang telah Tuhan turunkan. sedangkan hal batin adalah urusan Purbawisewa - Gusti Agung. Manusia yang mencuri dan terbukti salahnya akan dipotong pergelangan tangannya sebagai balasan. Dosanya itu apakah diampun atau tidak, bukan ketentuan sang hakim dan manusia lainnya. Tetapa yang pasti si pencuri itu tetap Islam. Malah tidak ada satu dalil pun yang mengeluarkan dia dari Millah Ibrahim ini.
Kita tanyakan lah kepada kaum yang mengkafirkan dia: "Apakah di zaman Rasul dahulu hudud tidak berjalan atau dibekukan, kerna seluruh sahabat tidak pernah berbuat silap? Dan kalau Hudud itu berlangsung, apakah sahabat yang dihukum itu adalah kafir dan masuk neraka?"
Kemudiannya ada serpihan manusia yang cuba bersikap "terbuka" dan toleran, mengkehendaki agar kita tidak menetapkan vonis "sesat", atau mentancapkan gelar "ahli bid'ah" kepada seseorang. Maka kita tanyakan kepadanya "haa tu burha na kum in kuntum soodiqin" - tunjukkan hujjah kamu. Agar kita sama-sama untuk bersikap adil kepada manusia. Kalau kami berbuat silap, nescaya kami akan ruju'.
Kalau lah ulama sunnah tiada hak untuk menetapkan si fulan sesat, atau si fulan ahli bid'ah, maka sudah pasti kita juga tidak harus memanggil Wasil Bin Atha' atau Aminah Wadud sebagai sesat. Begitu juga kita tidak boleh mengatakan bahwa Ibn Arabi, Hallaj, Jaham Bin Safwan manusia yang tersesat teruk - kafir. Dan berdosalah ulama'-ulama' yang membunuh mereka bertiga itu.
Padahal Rasul juga pernah menetapkan Khawarij dengan gelar Anjing neraka, dan sahabat juga memanggil mereka sebagai Sesat. Serta Khalifah abu Bakr membunuh mereka yang tidak mahu mengeluarkan zakat, sementara itu Ali pernah membakar mereka. Kemudian dari dahulu hingga sekarang ulama kita telah mengarang kitab dengan jodol "Bantahan" seperti Imam Bukhari - Ar Raddu 'Alal Jahmiyyah.
Lalu apakah guna kita memanggil manusia yang tidak menyembah Allah sebagai Musyrik, atau pun Kafir kerna untuk berlaku adil, dan untuk tidak menjadi Rabb yang memutus hukum kepada manusia lain. Padahal Allah telah tetapkan sumber-sumbernya untuk menentukan seseorang sebagai kafir, dan sebagai Muslim. Begitu juga Rasul telah nyatakan syarat-syaratnya untuk menetapkan seseorang sebagai Sunni dan sebagai ahli bid'ah, atau sesat dari kebenaran. Semua barometer ini telah ditetapkan dan telah diajarkan kepada para sahabat sehingga mereka mengerti dan bisa menggunakan barometer tersebut.
Begitulah ketakutan manusia kepada semangat untuk menjaga agama ini. Niat mereka baik tetapi mereka tersilap dalam menuju kebaikan itu.
Lalu rupanya juga didalam segelintir manusia yang mengaku Salafi, nayata mereka tak terlepas diserkup hantu "ketakutan" ini.
Kerana untuk menjadikan manusia sunni ini adalah manusia yang berpegang kokoh pada dustur Ilahi dan Sunnah nabawi, maka mereka menganggap pelaku maksiat yang berupa dosa kecil itu telah terkeluar dari jajaran ahlus sunnah dan menjadilah pelaku bid'ah. Kerana mereka berkata: "Janganlah dilihat kecilnya dosa itu tetapi lihatlah kepada siapa kita melakukan dosa itu - Allah".
Makanya siapa-siapa yang melabuhkan seluarnya lebih dari mata kaki, atau yang merapikan janggutnya dengan memotong hingga tinggal sedikit, atau yang suka mendengar musik, atau dosa-dosa lain; mereka ini bukan ahli sunnah melainkan ahli fasik dan ahli bid'ah.
Sungguh ini satu kedustaan atas agama, dan berupa kejahilan dalam meniti jalan Rasulullah saw. Mahu saja kita katakan kepada mereka agar tetap teguh kepada manhaj yang mulya ini dan berlapang dada lah serta tuntut lah ilmu. Kerna kedapatan sahabat Rasulullah yang melakukan dosa kecil, serta ada yang melakukan dosa besar; tetapi Rasul serta para sahabat yang lainnya tidak pernah mengeluarkan mereka dari Ahlus Sunnah, malah jauh sekali mengkafirkan mereka.
Lalu kepada saudara kita yang mengaku meniti manhaj ini, kalian haruslah bisa memaafkan kesalahan saudaramu yang lain, kerna manusia itu bukanlah malaikat, atau bukan juga makhluk yang tidak bisa berbuat; ibarat sehelai bulu yang ditiup - kalau angin meniup ke kanan maka kekananlah ia, kalau angin meniup ke kiri maka ke kiri lah ia. Kita tidaklah diikat tangan dan kaki kita untuk berbuat baik atau kejahatan, sekadar diberi ilham dan kekuatan. Maka manusia ada yang lemah imannya lalu tersilap dan ada tebal imannya lalu teguh dalam agama.
Dan adalah makum bahawa kita ini makhluk yang berbuat silap; bukankah setiap anak Adam itu berbuat silap, dan yang paling baik adalah yang cepat bertaubat?
Kesalahan seseorang bukanlah sebagai hujjah untuk mengeluarkan dia dari Sunnah, lebih-lebih lagi sebagai seorang Muslim. Selagi mana kebaikan menguasai dirinya, maka dia dinisbatkan kepada kebaikan, kalau kejahatan yang menguasai dirinya maka dia dinisbatkan kepada kejahatan.
Ketahuilah bahawa Ahlus Sunnah itu adalah berpegang teguh kepada pedoman Sahabat dalam beragama, maka selagi itulah dia dikenal sebagai Sunni. Tetapi apabila aqidahnya melencong dari kebenaran, maka dia sudah terkeluar dari jajaran mulya ini. Itupun kalau kesalahannya dalam aqidah mendominasi dirinya dan dia tidak mahu insaf setelah di tabayyun - dijelaskan.
Tidakkah kita masih mengerti akan hal ini; seorang hakim yang zalim, satu ketika dia menjatuhkan hukuman yang adil, maka tidaklah manusia memanggil dia sebagai "Hakim yang Adil". Dan seorang hakim yang adil satu ketika dia menjatuhkan hukum yang zalim [tidak adil], maka tidaklah manusia memanggil dia sebagai "Hakim yang Zalim". Yang mendominasi hakim tersebutlah yang bisa kita nisbatkan, bukan keadaan "tak-terbiasa" beliau yang menjadi kayu pengukur.
Maka, apabila hilang ketakutan, nescaya kita dapat berlari kencang walau dalam malam gelap tanpa purnama.
No comments:
Post a Comment