Mengapakah sesuatu amal yang kita lihat ianya baik dan tidak menyanggahi syariat dicela dan diancam sehingga ke neraka?
Ini satu perlakuan yang berat, kerna apakah ada satu kewarasan - seperti berzikir secara berjamaah - itu adalah satu kedurjanaan kepada agama dan diancam kesesatan?
Tetapi apabila kita melihat keseluruhan hadith-hadith yang meyinggung dalam masalah bid’ah, maka tiada satupun yang memberi rasa emosi yang menyenngkan. Kesemuanya membawa celaan dan ancman kepada amal bid’ah.
Bukan satu, bukan dua, malah puluhan hadith yang berbicara tntng bid’ah dalam bentuk umum, yang semuanya membawa pernyataan keras berupa larangan.
Mengapa dalam puluhan hadith bid’ah, tidak kedapatan satupun yang menceritakan akan wujudnya “kebaikan”, dan mengapa tiada satupun yang terlepas dari pelarangan?
Justeru kalau mengikut kaedah usul, seluruh dalil yang maujud apabila bersifat umum dan mutlaq yang diulang-ulang pada sekian banyak tempat dan mempunyai banyak pendukung, tanpa ada sedikitpun pengkhususan dan pembatasan berupa pengecualian, maka hal tersebut menunjukkan tetap dalam keadaan umum. Seperti firman Allah:
“Dan orang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain” [Al An’am: 164].
Ayat ini terdapat dibeberapa tempat dalam surah Al An’am, Al Isra dan Az Zumar. Maka ayat ini diberlakukan maknanya secara umum.
Abdullah Bin Umar berkata: “Setiap bid’ah adalah sesat walupun dipandang baik oleh manusia”
Begitu juga dengan hadith sebelum ini yang menceritakan bagaimana kaum zikir jama’I memandang hal itu sebagi kebaikan tetapi Ibn Mas’ud menetapkannya kejelekan.
Imam Malik berkata :
“Barangsapa berbuat suatu kebid’ahan dalam agama Islam yang ia pandang baik maka sungguh ia menyangka bahwa Muhammad telah mengkhianati risalah, karena Allah berfirman : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”(Al Maidah 3). Maka apa saja yang pada waktu itu bukan agama tidaklah pada hari ini dianggap sebagai agama, dan tidak akan baik akhir umat ini melainkan dengan apa yang baik pada umat yang awal (para sahabat).”
Oleh kerana itulah niat yang baik dalam melakukan bid’ah hasanah bukanlah satu dalil syar’i untuk menghalalkan ibadah tersebut. Walaupun disebutkan hadith “sesuatu amal itu bergantung dengan niat”. Kerana hak untuk menentukan tatakrama ibadah hanya terletak kepada Allah.
Maknanya Sesuatu amal itu harus punya dua sisi bagi membolehkannya berlepas dari celaan, sepertimana yang dikatakan oleh para ulama. Ibn Qayyim berkata:
“Sebagian ulama salaf berkata, “Tidaklah suatu pekerjaan meskipun kecil melainkan dibentangkan kepadanya dua catatan. Mengapa dan bagaimana ? Yakni, mengapa kamu melakukan dan bagaimana kamu melakukan ?
Pertanyaan pertama tentang alasan dan dorongan melakukan pekerjaan. Apakah karena ada interes tertentu dan tujuan dari berbagai tujuan dunia seperti ingin dipuji manusia atau takut kecaman mereka, atau ingin mendapatkan sesuatu yang dicintai secara cepat, atau menghindarkan sesuatu yang tidak disukai dengan cepat ? Ataukah yang mendorong melakukan pekerjaan itu karena untuk pengabdian kepada Allah dan mencari kecintaan-Nya serta untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ?
Artinya, pertanyaan pertama adalah, apakah kamu mengerjakan amal karena Allah, ataukah karena kepentingan diri sendiri dan hawa nafsu?
Adapun pertanyaan kedua tentang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengabdian itu. Artinya, apakah amal yang dikerjakan sesuai syari’at Allah yang disampaikan Rasul-Nya? Ataukah pekerjaan itu tidak disyari’atkan Allah dan tidak diridhai-Nya?
Pertanyaan pertama berkaitan dengan ikhlas ketika beramal, sedangkan yang kedua tentang mengikuti Sunnah. Sebab Allah tidak akan menerima amal kecuali memenuhi kedua syarat tersebut. Maka agar selamat dari pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan. Sedang agar selamat dari pertanyaan kedua adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengerjakan setiap amal. Jadi amal yang diterima adalah bila hatinya selamat dari keinginan yang bertentangan dengan ikhlas dan juga selamat dari hawa nafsu yang kontradiksi dengan mengikuti Sunnah” [Mawarid Al-Aman Al-Muntaqa min Ighatshah Al-Lahfan]
Begitu juga apa yang telah diisyaratkan oleh Ibn Katir, rakannya Ibn Qayyim:
“Sesungguhnya amal yang di terima harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah. Kedua, benar dan sesuai syari’at. Jika dilakukan dengna ikhlas, tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima”. [Tafsir Ibn Katsir]
Dan kenyataan ini dikuatkan lagi oleh Ibn Ajlan:
“Amal tidak dikatakan baik kecuali dengan tiga kriteria : takwa kepada Allah, niat baik dan tepat (sesuai sunnah)”. [Jami Al-Ulum wal Hikam]
Dari sini apat kita cerna bahawa 2 dasar itu adalah:
[1]. Ikhlas iaitu bertauhid yang shahih
[2]. Ittiba iaitu mengikuti Rasulullah
Lalu seandainya kita hanyalah ikhlas untuk melakukan sesuatu amal hanya mengharap mardatillah tetapi ibadah itu tidak mencocoki seperti yang Rasulullah ajarkan, maka amal itu tidak akan diterima, malah ia bisa menjadi hujjah kepada dihumbannya kit kepada kemurkaan dan kema’siatan.
Lihatlah betapa banyak ancaman allah dan Rasul kepada pelaku bid’ah, sehingga kit menjadi yakin bahawa pembahgian bid’ah hasanah itu memang tidak wujud.
Anas ra berkata : Rasulullah saw bersabda: “Benar-benar suatu kaum dari umatku akan ditolak dari telaga sebagaimana unta asing ditolak (dari kerumunan unta)”, maka aku berkata : “Ya Allah itu adalah umatku”, maka dikatakan : “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu”. [H R Bukhari dan Muslim]
Ini kerana amal bid’ahnya itu tidak diterima oleh Allah. Bayangkan selama dia hidup amalnya senantias diselimuti dngan bid’ah, sehingga tiada satupun amalnya yng tersisa – solatnya, puasnya, hajinya, zikirnya, wudu’nya – yang dia lakukan selama hayatnya akhir menjadi debu berterbangan.
Ibn Waldhdhah meriwayatkan dari Asad bin Musa, bahawa dia berkata: “Laknat Rasulullah saw telah mengenai ahlul ahwa [ahli bid’ah], dan sesungguhnya Allah tidak akan menerima sharf [taubat], ‘adl [tebusan], faridhah [ibadah wajib] dan tathawwu [ibadah sunnah] dari mereka”. [al Bidayah wan Nihyu’anha: 5]
Dan Nabi bersabda :
“Sesungguhnya Allah menahan taubat dari setiap ahli bid’ah hingga ia bertaubat dari kebid’ahannya” [ H R Ibn Wadhdhah dan Ibn Abi Ashim, shahih]
Ali Bin Abi Thalib berkata: “Tidaklah sesorang yang memiliki pemikiran bid’ah kemudian dia meninggalkannya, kecuali menuju kepada yang lebih buruk”. [Riwayat Ibn Wadhdhah]
Hasan al Basri berkata: “Allah Tabaraka wa Ta’ala enggan menerima taubat bagi ahli bid’ah”. [Riwayat Al Laalika’i]
Justeru, kita haruslah mengingati bahawa memberlakukan amal ibadah itu harus sesuai dengn contoh teladan, dan setiap amal bid'ah itu adalah satu hujjah untuk memasukkan kita dalam kaum yng diancam. Malah lebih teruk lagi segala ibadah kita yang diselaputi dengan bid'ah tidak akan dihitung sebagai pahala tetapi sebaliknya akan dikira sebagai dosa.
Ini satu perlakuan yang berat, kerna apakah ada satu kewarasan - seperti berzikir secara berjamaah - itu adalah satu kedurjanaan kepada agama dan diancam kesesatan?
Tetapi apabila kita melihat keseluruhan hadith-hadith yang meyinggung dalam masalah bid’ah, maka tiada satupun yang memberi rasa emosi yang menyenngkan. Kesemuanya membawa celaan dan ancman kepada amal bid’ah.
Bukan satu, bukan dua, malah puluhan hadith yang berbicara tntng bid’ah dalam bentuk umum, yang semuanya membawa pernyataan keras berupa larangan.
Mengapa dalam puluhan hadith bid’ah, tidak kedapatan satupun yang menceritakan akan wujudnya “kebaikan”, dan mengapa tiada satupun yang terlepas dari pelarangan?
Justeru kalau mengikut kaedah usul, seluruh dalil yang maujud apabila bersifat umum dan mutlaq yang diulang-ulang pada sekian banyak tempat dan mempunyai banyak pendukung, tanpa ada sedikitpun pengkhususan dan pembatasan berupa pengecualian, maka hal tersebut menunjukkan tetap dalam keadaan umum. Seperti firman Allah:
“Dan orang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain” [Al An’am: 164].
Ayat ini terdapat dibeberapa tempat dalam surah Al An’am, Al Isra dan Az Zumar. Maka ayat ini diberlakukan maknanya secara umum.
Abdullah Bin Umar berkata: “Setiap bid’ah adalah sesat walupun dipandang baik oleh manusia”
Begitu juga dengan hadith sebelum ini yang menceritakan bagaimana kaum zikir jama’I memandang hal itu sebagi kebaikan tetapi Ibn Mas’ud menetapkannya kejelekan.
Imam Malik berkata :
“Barangsapa berbuat suatu kebid’ahan dalam agama Islam yang ia pandang baik maka sungguh ia menyangka bahwa Muhammad telah mengkhianati risalah, karena Allah berfirman : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”(Al Maidah 3). Maka apa saja yang pada waktu itu bukan agama tidaklah pada hari ini dianggap sebagai agama, dan tidak akan baik akhir umat ini melainkan dengan apa yang baik pada umat yang awal (para sahabat).”
Oleh kerana itulah niat yang baik dalam melakukan bid’ah hasanah bukanlah satu dalil syar’i untuk menghalalkan ibadah tersebut. Walaupun disebutkan hadith “sesuatu amal itu bergantung dengan niat”. Kerana hak untuk menentukan tatakrama ibadah hanya terletak kepada Allah.
Maknanya Sesuatu amal itu harus punya dua sisi bagi membolehkannya berlepas dari celaan, sepertimana yang dikatakan oleh para ulama. Ibn Qayyim berkata:
“Sebagian ulama salaf berkata, “Tidaklah suatu pekerjaan meskipun kecil melainkan dibentangkan kepadanya dua catatan. Mengapa dan bagaimana ? Yakni, mengapa kamu melakukan dan bagaimana kamu melakukan ?
Pertanyaan pertama tentang alasan dan dorongan melakukan pekerjaan. Apakah karena ada interes tertentu dan tujuan dari berbagai tujuan dunia seperti ingin dipuji manusia atau takut kecaman mereka, atau ingin mendapatkan sesuatu yang dicintai secara cepat, atau menghindarkan sesuatu yang tidak disukai dengan cepat ? Ataukah yang mendorong melakukan pekerjaan itu karena untuk pengabdian kepada Allah dan mencari kecintaan-Nya serta untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ?
Artinya, pertanyaan pertama adalah, apakah kamu mengerjakan amal karena Allah, ataukah karena kepentingan diri sendiri dan hawa nafsu?
Adapun pertanyaan kedua tentang mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengabdian itu. Artinya, apakah amal yang dikerjakan sesuai syari’at Allah yang disampaikan Rasul-Nya? Ataukah pekerjaan itu tidak disyari’atkan Allah dan tidak diridhai-Nya?
Pertanyaan pertama berkaitan dengan ikhlas ketika beramal, sedangkan yang kedua tentang mengikuti Sunnah. Sebab Allah tidak akan menerima amal kecuali memenuhi kedua syarat tersebut. Maka agar selamat dari pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan. Sedang agar selamat dari pertanyaan kedua adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengerjakan setiap amal. Jadi amal yang diterima adalah bila hatinya selamat dari keinginan yang bertentangan dengan ikhlas dan juga selamat dari hawa nafsu yang kontradiksi dengan mengikuti Sunnah” [Mawarid Al-Aman Al-Muntaqa min Ighatshah Al-Lahfan]
Begitu juga apa yang telah diisyaratkan oleh Ibn Katir, rakannya Ibn Qayyim:
“Sesungguhnya amal yang di terima harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allah. Kedua, benar dan sesuai syari’at. Jika dilakukan dengna ikhlas, tetapi tidak benar, maka tidak akan diterima”. [Tafsir Ibn Katsir]
Dan kenyataan ini dikuatkan lagi oleh Ibn Ajlan:
“Amal tidak dikatakan baik kecuali dengan tiga kriteria : takwa kepada Allah, niat baik dan tepat (sesuai sunnah)”. [Jami Al-Ulum wal Hikam]
Dari sini apat kita cerna bahawa 2 dasar itu adalah:
[1]. Ikhlas iaitu bertauhid yang shahih
[2]. Ittiba iaitu mengikuti Rasulullah
Lalu seandainya kita hanyalah ikhlas untuk melakukan sesuatu amal hanya mengharap mardatillah tetapi ibadah itu tidak mencocoki seperti yang Rasulullah ajarkan, maka amal itu tidak akan diterima, malah ia bisa menjadi hujjah kepada dihumbannya kit kepada kemurkaan dan kema’siatan.
Lihatlah betapa banyak ancaman allah dan Rasul kepada pelaku bid’ah, sehingga kit menjadi yakin bahawa pembahgian bid’ah hasanah itu memang tidak wujud.
Anas ra berkata : Rasulullah saw bersabda: “Benar-benar suatu kaum dari umatku akan ditolak dari telaga sebagaimana unta asing ditolak (dari kerumunan unta)”, maka aku berkata : “Ya Allah itu adalah umatku”, maka dikatakan : “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu”. [H R Bukhari dan Muslim]
Ini kerana amal bid’ahnya itu tidak diterima oleh Allah. Bayangkan selama dia hidup amalnya senantias diselimuti dngan bid’ah, sehingga tiada satupun amalnya yng tersisa – solatnya, puasnya, hajinya, zikirnya, wudu’nya – yang dia lakukan selama hayatnya akhir menjadi debu berterbangan.
Ibn Waldhdhah meriwayatkan dari Asad bin Musa, bahawa dia berkata: “Laknat Rasulullah saw telah mengenai ahlul ahwa [ahli bid’ah], dan sesungguhnya Allah tidak akan menerima sharf [taubat], ‘adl [tebusan], faridhah [ibadah wajib] dan tathawwu [ibadah sunnah] dari mereka”. [al Bidayah wan Nihyu’anha: 5]
Dan Nabi bersabda :
“Sesungguhnya Allah menahan taubat dari setiap ahli bid’ah hingga ia bertaubat dari kebid’ahannya” [ H R Ibn Wadhdhah dan Ibn Abi Ashim, shahih]
Ali Bin Abi Thalib berkata: “Tidaklah sesorang yang memiliki pemikiran bid’ah kemudian dia meninggalkannya, kecuali menuju kepada yang lebih buruk”. [Riwayat Ibn Wadhdhah]
Hasan al Basri berkata: “Allah Tabaraka wa Ta’ala enggan menerima taubat bagi ahli bid’ah”. [Riwayat Al Laalika’i]
Justeru, kita haruslah mengingati bahawa memberlakukan amal ibadah itu harus sesuai dengn contoh teladan, dan setiap amal bid'ah itu adalah satu hujjah untuk memasukkan kita dalam kaum yng diancam. Malah lebih teruk lagi segala ibadah kita yang diselaputi dengan bid'ah tidak akan dihitung sebagai pahala tetapi sebaliknya akan dikira sebagai dosa.
No comments:
Post a Comment