Tuesday, November 13, 2007

Hutan Terlarang

[Aku akan ceritakan kepada kalian sebuah cerita dari zaman Archellis]


Kata seorang pendita kepada orang kampung; “Jangan kau masuk ke dalam hutan itu, ada binatang buas. Kau akan mati dibaham. Ingat, jangan masuk sekali-kali. Cukupkan dirimu dengan apa yang telah ada di sisimu”. Maka tiada seorang pun yang berani menjejakkan kaki ke sempadan hutan tebal itu, malah tiada siapa yang berani untuk menyebut nama hutan itu.

Memang mereka tidak pernah bertemu dengan binatang itu tapi mereka cukup percaya dengan kata-kata pendita tersebut. Apa yang dia bicarakan pasti benar, kerna dia tidak pernah berdusta. Dia jujur, tidak tamahkan dunia, tidak berkepentingan, yang dia tahu ialah berkasih-sayang dan beramal mulia.

Kemudian pendita itu berlalu, merantau untuk menyebarkan wahyu. Katanya waktu dia disitu telah tamat.

Berlalu puluhan tahun. Dan kampung yang aku berdiam itu terus melupakan namanya, tak ada seorang pun yang mengingati rupanya, malah semuanya telah meninggalkan ajarannya.

Akhirnya jiran-jiranku mula meneka-neka apa yang ada di dalam hutan tebal itu. Yang paling ghairah ialah anak-anak muda. Lalu mereka mempersoalkan “ajaran pelik” dari orang tua mereka.

+ Bukankah tidak ada siapa yang pernah melihat binatang itu.

- Benar.

+ Justru cerita wujud binatang buas itu adalah dusta.

- Buktinya?

+ Bukti apa lagi selain tiada siapa yang pernah melihatnya, mendengan ngaumannya, dan tiada siapa yang pernah mati dibahamnya.

- Benar. Tapi itu hanya andaian-andaian, dan bukankah pesanan nenek moyang mengatakan hutan itu terlarang?

+ Arh... itu hanya pesanan bodoh untuk kita. Bukankah di dalam hutan itu terdapat harimau, rusa, kijang, haiwan buruan; kulitnya mahal isinya sedap.

- Kalau benar wujud binatang itu?

+ Takut apa, kita punya senapang, tembak saja, biar mati!.

Lalu mereka pun terus menodai larangan si pendita. Mereka masuk meredah hutan belantara yang kelam itu tanpa menghiraukan wujud binatang durjana, yang mereka idamkan hanya “kebesaran”. Setiap kali mereka masuk, pasti mereka melihat banyaknya rusa yang sedang meneguk air di lopak-lopak, ada landak di denai-denai. Tapi apabila mereka mendekat, haiwan-haiwan itu macam tau-tau saja kehadiran mereka dan terus lari bertempiaran.

Minggu pertama tiada yang hilang, juga tiada yang beroleh haiwan buruan. Masuk minggu ke dua semacam itu juga; tiada korban tiada buruan. Masuk minggu ke lima, maka gempar seluruh kampung, khabarnya ada orang yang tak kunjung balik selepas meredah hutan. Masuk koran [akhbar]: “Mat Sukun mengamok, anaknya di baham binatang buas”.

Gempar seketika mengenai betapa ‘dajjal’nya binatang itu. Lalu mereka namakannya dengan “Muhapirun”. Kata mereka Muhapirun ini kejam, membaham manusia yang tak bersalah. Merampas rezeki mereka, suka mengaum, licik menyorok, sudah lama memasang jerat untuk orang kampung, dan macam-macam lagilah.

Tetapi yang peliknya ialah orang kampung ini suka sangat masuk hutan itu walaupun anak Mat Sukun sudah mati hingga bercebis-cebis mayatnya. Korban terus-menerus bergelimpangan saban hari, dan koran terus punya tema untuk dibaca oleh sidang pembaca.

Lalu aku katakan kepada mereka: “Tidak cukupkah dengan hasil bendang, hingga kalian perlu masuk hutan terlarang?”.

Lalu mereka berteriak: “Kamu tahu apa? Cuma mengaji kitab, tidak berburu. Orang seperti kamu tidak tahu apa-apa tentang realita hidup. Untuk mencapai kejayaan, jalannya hanya satu – masuk hutan!”.

Sungguh ajaib kampungku ini, manusia tetap saja suka memasuki “Hutan Dumukrutus” yang punya binatang buas – Muhapirun atas alasan “kemenangan dan kemuliaan”.

Ajaran pendita itu? Arh... itu ajaran sesat bilang mereka!


catatan:
[Friday, 9 December 2005]

No comments: